Pusakan Wahyu - CHAPTER 1: "SI PINCANG DAN BATU TERKUTUK"
Lereng Gunung Lawu, Musim Kemarau 1456
Kabut tebal menyelimuti punggung gunung, membungkus Arya Daka dalam selimut basah yang membuat lukanya berdenyut lebih sakit dari biasanya. Kaki kanannya—yang sejak usia sepuluh tahun selalu tertatih setelah dihujam keris Golok Merah—menyeret lumpur ke mana pun ia melangkah. Tali kulit usang di pergelangan kirinya, peninggalan terakhir ayahnya sebelum tubuh pria itu dibelah dari bahu ke pinggang, menggesek luka lama yang tak kunjung sembuh.
"Lari, Nak! Jangan menengok!"
Suara ibunya masih menggema di telinganya, lebih nyaring daripada deru angin yang menerpa dinding gua di hadapannya.
Obor bambu di tangannya nyaris padam oleh tiupan angin malam. Sinar merahnya menguak kegelapan mulut gua, memperlihatkan ukiran-ukiran aneh di dinding batu—gambar manusia dengan lengan seperti mesin, kapal tanpa layar melayang di antara bintang, dan di tengahnya, simbol kumbang raksasa dengan sayap membentang.
Arya menelan ludah. Persis seperti mimpiku.
Darahnya berdesir ketika ia melangkah lebih dalam, mengikuti denyut aneh di dadanya yang semakin keras seolah ada sesuatu memanggil. Sampai akhirnya, di ruang terdalam gua, di atas altar batu yang dipenuhi lumut keemasan, terbaring sebuah batu kristal sebesar buah nangka.
Batu itu berdenyut.
Urat-urat emas di permukaannya berkelip seperti kunang-kunang yang terjebak dalam kaca. Tanpa pikir panjang, Arya mengulurkan tangan—
Saat jarinya menyentuh permukaan batu, dunia sekelilingnya berhenti.
Retak!
Batu itu pecah, mengeluarkan cairan logam yang langsung membakar kulitnya. Arya ingin berteriak, tapi suaranya tercekik di tenggorokan saat cairan emas itu merayap ke lengan seperti ular, menusuk-nusuk dagingnya dengan ribuan jarum tak kasat mata.
"Sambutlah warisan Para Arsitek Langit..."
Suara itu bukan di telinganya, tapi di dalam kepalanya—seperti gema dari mimpi buruk yang lama terpendam.
——
Matahari pagi menyengat kulit Arya ketika ia terbangun di luar gua, tubuhnya basah oleh embun. Kaki kanannya—yang biasanya nyut-nyutan hanya karena berjalan sepuluh langkah—terasa ringan. Ia menyentuh pahanya, di mana luka tusukan keris biasanya menganga, dan yang ia temukan hanya jaringan kulit baru yang halus, dihiasi garis-garis emas tipis seperti jejak kumbang.
"Tidur di luar lagi, Dungu?"
Suara Surya menggema dari belakang sebelum sebuah tendangan mendarat di rusuknya. Tapi kali ini, sesuatu yang aneh terjadi.
Sebelum Arya sadar apa yang ia lakukan, tangannya sudah bergerak sendiri—menangkap pergelangan kaki Surya dan memelintirnya dengan gerakan yang bahkan tidak ia kenali.
Krak!
Teriakan Surya memecah kesunyian pagi. Murid-murid lain yang sedang berlatih berhenti, mata mereka melotot melihat tulang pergelangan kaki Surya yang sekarang bengkok ke arah yang salah.
Arya menatap tangannya sendiri. Garis-garis emas di kulitnya berdenyut pelan, hangat seperti matahari pagi.
Dari balik kerumunan, di balik jendela paviliun utama, sepasang mata merah menyipit—puas.
——
Posting Komentar untuk "Pusakan Wahyu - CHAPTER 1: "SI PINCANG DAN BATU TERKUTUK""
You are welcome to share your ideas with us in comments!