Menghadapi Era Digital: Upaya Rumah Sakit Swasta Menyesuaikan dengan Regulasi Kesehatan Baru

 


Rumah sakit swasta di Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah "tantangan serba digital" yang cukup pelik. Pemerintah, lewat Kementerian Kesehatan, menetapkan sejumlah regulasi baru yang mengharuskan rumah sakit untuk mengikuti perkembangan teknologi dengan lebih serius—mulai dari implementasi Rekam Medis Elektronik (RME), integrasi data lewat Bridging API Satu Sehat, hingga pemetaan diagnosa menggunakan standar LOINC dan SNOMED. Sepertinya, harapan untuk memiliki sistem kesehatan yang lebih canggih datang dengan harga yang tidak murah.

Rekam Medis Elektronik, misalnya. Di atas kertas (pun intended), ide ini terdengar bagus: semua data pasien terkumpul dalam satu tempat, mudah diakses, dan jauh lebih efisien. Tapi realitanya, tidak semudah menekan tombol "CTRL + S." Bagi banyak rumah sakit swasta, transisi dari tumpukan berkas fisik ke format digital bukanlah hal yang sederhana. Tidak hanya soal mengganti komputer atau meng-upgrade software, tetapi juga menata ulang cara kerja, mengubah budaya, dan bahkan melatih ulang para staf yang sudah bertahun-tahun terbiasa dengan cara lama. Ada cerita lucu tentang seorang dokter yang hampir kehilangan kesabarannya hanya karena mencari data pasien di sistem baru yang katanya "lebih cepat"—ternyata datanya ter-input dengan salah.

Nah, bicara soal Bridging API Satu Sehat. Ini adalah upaya ambisius pemerintah untuk mengintegrasikan semua data kesehatan nasional. Idenya adalah agar dokter di rumah sakit mana pun bisa mendapatkan akses ke rekam medis pasien, dengan catatan pasien yang bersangkutan memberi izin. Dalam prakteknya, banyak rumah sakit swasta yang masih bergumul dengan hal-hal teknis: bagaimana data bisa ditarik dari sistem lama ke sistem baru, atau bagaimana memastikan keamanan data ketika semuanya tersambung secara online. Selain itu, integrasi ini juga memerlukan infrastruktur IT yang mumpuni—belum lagi bicara soal biaya. Dalam satu studi kasus, sebuah rumah sakit swasta di Jakarta melaporkan bahwa biaya yang diperlukan untuk memenuhi seluruh persyaratan integrasi ini bisa mencapai miliaran rupiah.

Dan jangan lupa tentang pemetaan diagnosa dengan LOINC dan SNOMED. Mungkin kita bertanya-tanya, "Kenapa sih harus pakai standar internasional segala? Bukankah sudah cukup dengan kode diagnosa yang biasa?" Ternyata, di balik semua ini ada tujuan besar untuk menyamakan bahasa medis di seluruh dunia. Dengan menggunakan standar yang sama, data kesehatan bisa dimengerti dengan mudah di mana saja—apakah itu di Indonesia, Amerika, atau bahkan di Mars (jika suatu hari nanti manusia sampai ke sana). Tapi ya, itu juga berarti dokter dan tenaga medis harus belajar menggunakan kode-kode baru ini, yang tidak jarang terdengar seperti bahasa asing. Bayangkan saja saat seorang dokter harus mencari kode untuk kondisi yang sangat spesifik dan menghabiskan waktu lebih lama daripada mendiagnosa pasiennya.

Semua tantangan ini sebenarnya diarahkan untuk mempersiapkan rumah sakit menghadapi sistem smartclaim. Ya, kalau dulu klaim asuransi bisa dilakukan dengan tumpukan berkas dan formulir manual, kini smartclaim memerlukan data yang terstruktur dan sesuai standar. Kalau datanya tidak sesuai atau kodenya salah? Klaim bisa ditolak, dan itu berarti rumah sakit bisa merugi. Menurut data yang dihimpun oleh Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI), sekitar 20% klaim kesehatan dari rumah sakit swasta ditolak karena masalah data yang tidak sesuai dengan standar.

Jadi, apakah semua ini hanya menambah beban rumah sakit? Mungkin begitu, terutama dalam jangka pendek. Tapi jika kita melihat gambaran besar, ini adalah langkah menuju pelayanan kesehatan yang lebih baik, lebih aman, dan lebih terintegrasi. Sebagai masyarakat, kita tentunya berharap agar rumah sakit mampu menghadapi semua perubahan ini dengan baik—tanpa harus mengorbankan kualitas pelayanan.

Pada akhirnya, ini bukan hanya soal mengikuti regulasi, tetapi juga tentang beradaptasi dengan perubahan zaman. Memang, ada banyak hal yang harus dibenahi, namun, seperti kata pepatah, "Perubahan itu pasti, dan adaptasi itu seni." Rumah sakit swasta harus pandai menari mengikuti irama regulasi yang terus berubah—dengan tetap menjaga agar kualitas pelayanan tetap prima. 

Terima kasih sudah mampir! Kalau kamu menikmati konten ini dan ingin memberikan dukungan, bagaimana kalau traktir saya secangkir kopi? 😊 Dengan begitu, kamu membantu saya tetap bersemangat untuk terus membuat konten menarik. Tidak wajib, tapi secangkir kopi darimu pasti akan membuat hari saya lebih cerah. ☕️

  • Buy Me Coffee
  •  

    Hajriah Fajar is a multi-talented Indonesian artist, writer, and content creator. Born in December 1987, she grew up in a village in Bogor Regency, where she developed a deep appreciation for the arts. Her unconventional journey includes working as a professional parking attendant before pursuing higher education. Fajar holds a Bachelor's degree in Computer Science from Nusamandiri University, demonstrating her ability to excel in both creative and technical fields. She is currently working as an IT professional at a private hospital in Jakarta while actively sharing her thoughts, artwork, and experiences on various social media platforms.

    Thank you for stopping by! If you enjoy the content and would like to show your support, how about treating me to a cup of coffee? �� It’s a small gesture that helps keep me motivated to continue creating awesome content. No pressure, but your coffee would definitely make my day a little brighter. ☕️ Buy Me Coffee

    Posting Komentar untuk "Menghadapi Era Digital: Upaya Rumah Sakit Swasta Menyesuaikan dengan Regulasi Kesehatan Baru"