Cerita Kasih dalam Diam: Memori Masa Remaja yang Terpendam

Kisah ini dimulai saat aku menginjak usia SMP, masa-masa ketertarikan terhadap lawan jenis mulai muncul. Itu adalah masa ketika keinginan mencoba segala hal tak terbendung, tanpa memedulikan apakah itu baik atau buruk. Aku adalah seorang pria, anak pertama di keluargaku, dengan dua adik yang serupa denganku. Ayahku bekerja sebagai tukang bangunan, sedangkan ibuku mengurus kami di rumah. Sebagai anak pertama, aku selalu diandalkan dalam segala hal, termasuk menjaga warung kecil keluarga kami.


Cukup dengan latar belakang keluarga itu saja, kita bisa melanjutkan ceritanya. Pada suatu pagi, saat aku menjaga warung, seorang gadis manis dengan rambut sebahu masuk ke warungku. Dia adalah teman sepantaranku, teman bermainku di masa kecil dulu. Gadis itu berniat membeli sabun cuci balok dan memanggil namaku. Kami saling bercanda, dan aku memberikan yang dia minta. Namun, di saat aku berbalik, dia memanggilku lagi.

Apa yang terjadi? Apakah ada sesuatu yang kurang? Pada saat itu, aku tidak memikirkan hal-hal aneh, karena kami hanya teman kecil. Namun, kejanggalan dimulai ketika dia mengatakan bahwa matanya terkena debu dan memintaku untuk meniupnya. Dia mendekati wajahku dan aku setuju untuk membantu. Tapi, sebelum aku bisa meniup matanya, dia mengucapkan kalimat yang membuatku terdiam, "... apakah kamu suka padaku?"

Kata-kata itu membingungkanku. Aku membalik badan dan pergi masuk ke dalam rumah dan kembali setelah ku pastikan bahwa dia sudah pergi dari warungku. Waktu terus berlalu, tapi kata-kata dan raut wajahnya tidak bisa lepas dari pikiranku. Meski saat aku sudah berada di SMA dan jarang bertemu dengannya, namun saat kami akhirnya pulang bersama, aku menyadari dia berbeda. Rambutnya yang dahulu panjang sebahu, kini tertutup dari ujung kepala sampai ujung kaki. Ternyata dia ikut dalam ekskul rohis, sebuah ekskul yang berhubungan dengan keagamaan.

Ketika aku mencoba berbincang dengannya di perjalanan, dia menjawab dengan respons yang berbeda dari yang kuharapkan. Dia meminta aku untuk pergi duluan, karena takut akan adanya fitnah. Aku mengikuti permintaannya dan meninggalkannya dengan perasaan bingung.

Saat itu, aku sudah masuk kelas 2 SMA dan ditunjuk sebagai ketua organisasi remaja di kampungku. Tentu saja ada kebahagiaan dan tantangan dalam peran itu. Salah satu kegembiraan terbesar adalah ketika kegiatan yang kita kerjakan berhasil. Gadis itu juga ikut dalam organisasi tersebut dan tetap mempertahankan sifat alimnya.

Setelah lulus SMA, aku mendapat kabar bahwa dia akan segera menikah. Aku hanya bisa berkata, "Oh..." Mengingat bahwa tidak ada chemistry di antara kami, aku memilih untuk tidak memikirkannya. Beberapa hari sebelum pernikahannya, pada pagi hari depan masjid, saat aku sedang berolahraga menggunakan tali skipping, dia mendatangiku.

"Dia menghampiriku dan berkata, 'Jep, Rara mau bicara, sebentar saja,'".

Tentu saja, aku penasaran dengan apa yang dia ingin sampaikan. Aku menghentikan olahragaku dan kami duduk berdua di teras rumah nenekku. Dia mengenakan gamis hitam yang menutupi tubuhnya dari kepala sampai kaki, sedangkan aku hanya mengenakan celana kolor dan kaos oblong berkeringat. Duduk berdua di pagi hari dengan seorang gadis yang sebentar lagi akan menikah, aku merasa sedikit risih. Pandangan orang-orang yang lewat, khususnya ibu-ibu yang menuju pemandian umum, membuatku merasa canggung. Satu persatu, mereka lewat dan memperhatikan kami dari kejauhan. Ada rasa risih dan membayangkan apa yang mereka pikirkan tentang kami. Aku duduk berdua di pagi hari dengan gadis yang sebentar lagi akan menikah. ada apa ra..?!" Aku mencoba memulai pembicaraan, tetapi dia terdiam.

Mukanya merah merona, dan matanya berbinar melihat ku, mengalirlah air matanya. Dengan tangisnya, dia akhirnya membuka mulutnya. Dia mengatakan bahwa sebenarnya dia belum siap menikah dan masih ingin tinggal di sini bersama teman-teman, termasuk aku, dan ingin terus terlibat dalam kegiatan organisasi remaja.

Saat mendengar cerita hatinya yang terbebani, aku mencoba menenangkannya. Aku menyarankannya untuk bersyukur atas apa yang dia alami, karena tidak semua orang memiliki kesempatan seperti itu. Aku meyakinkannya bahwa apapun yang terjadi, Allah memiliki rencana yang lebih baik dan kita hanya perlu mengikutinya. Aku berusaha memberikan dukungan dan keyakinan padanya agar air matanya berhenti mengalir.

Waktu berlalu dan tak terasa siang sudah menjelang. Setelah sekitar 30 menit berbicara, atau bahkan lebih, dia pun pamit, dan alangkah terkejutnya aku dengan apa yang dilakukan nya sebelum pergi, dia raih tanganku, dia cium tangan ku, layaknya seorang istri mencium tangan suaminya dan tanpa menatap wajahku dia berbalik dan pergi.

Tentu saja, aku terkejut dengan tindakannya. Aku berpikir, "Apa yang dia pikirkan? mungkinkah, tadi kalau ku ajak dia pergi seperti cerita di film-film india, membawa kabur gadis menjelang pernikahan nya, ku yakin dia akan setuju dan tetap mengikuti ku" Namun, aku tetap berpikiran positif dan menggunakan logika untuk mengatasi perasaanku. Aku sadar akan konsekuensi dan akibat dari tindakan semacam itu. Meskipun terlintas pikiran-pikiran romantis dalam benakku, logika dan pemahamanku atas konsekuensinya membuatku tetap berpikir rasional.

Dua hari kemudian, pernikahannya dilangsungkan. Aku hadir dalam pernikahannya dan melihat bahwa wajahnya tidak lagi murung seperti sebelumnya. Dia tersenyum bahagia, dan aku merasa bersyukur. Beberapa tahun berlalu, aku pulang dari pengembaraanku di Jakarta. Warung kecil yang dulu pernah ku jaga sudah tutup. Adik-adikku yang dulu masih kecil telah dewasa. Di depan teras rumahku kulihat banyak anak bermain, mungkin begitu lamanya aku tidak pulang aku sampai tak tahu anak siapa saja yang sedang bermain di depan mataku ini, Penasaran, ku tanya ke ibu prihal ini, Di sebutkan nya satu-satu, hingga pada anak perempuan hatiku sedikit tersentak, karena ibu menyebutkan dia anaknya rara. "Oh, ini anaknya rara, udah punya anak, Alhamdulillah" jawabku

Dalam kisah ini, tidak ada kata-kata yang mengungkapkan bahwa mereka akhirnya bersatu. Namun, melalui perjalanan hidup masing-masing, mereka tetap menjaga hubungan yang baik dan menghormati pilihan hidup masing-masing. Meskipun perasaan cinta mungkin muncul, mereka berdua memilih untuk menghormati takdir dan memilih jalan hidup yang mereka yakini. Kisah ini mengajarkan kita tentang menghargai perasaan orang lain dan menghadapi konsekuensi dari setiap tindakan yang kita ambil. Terkadang, cinta dalam diam bisa menjadi bentuk cinta yang paling tulus dan menghormati.



Tag : cinta, takdir, pengorbanan, hubungan, pernikahan
Hajriah Fajar is a multi-talented Indonesian artist, writer, and content creator. Born in December 1987, she grew up in a village in Bogor Regency, where she developed a deep appreciation for the arts. Her unconventional journey includes working as a professional parking attendant before pursuing higher education. Fajar holds a Bachelor's degree in Computer Science from Nusamandiri University, demonstrating her ability to excel in both creative and technical fields. She is currently working as an IT professional at a private hospital in Jakarta while actively sharing her thoughts, artwork, and experiences on various social media platforms.

Thank you for stopping by! If you enjoy the content and would like to show your support, how about treating me to a cup of coffee? �� It’s a small gesture that helps keep me motivated to continue creating awesome content. No pressure, but your coffee would definitely make my day a little brighter. ☕️ Buy Me Coffee

Posting Komentar untuk "Cerita Kasih dalam Diam: Memori Masa Remaja yang Terpendam"