Berjalan untuk pulang
Perjalanan ke Gunung Rinjani memang sudah saya dambakan sejak lama. Dan seperti yang sudah diceritakan dipostingan sebelumnya, saya ingin sedikit berbagi tentang perjalanan pulang dari Lombok, Nusa Tenggara Barat hingga selamat sampai di rumah.
21 agustus 2017
Setelah turun gunung, kami berempat, saya, Ade, Ichal dan Andri (Hana langsung pulang menuju Bandara) singgah di sebuah rumah yang berada tepat di samping pintu gerbang pendakian Gunung Rinjani via Sajang. Hari itu hari ke-6 saya di Lombok dan memutuskan untuk menginap lagi disana. Rencana untuk melanjutkan ke Gili dan berkunjung ke rumah Ika (teman dari Jakarta, asli Lombok) pun saya urungkan karena kondisi stamina yang benar-benar harus istirahat. Syukurnya, bapak pemilik rumah yang kami singgahi menawarkan kami untuk menginap ditempatnya. Setelah selesai mandi, bersih-bersih dan makan, kami tidak butuh waktu lama untuk langsung melelapkan diri.
22 Agustus 2017
Hari ke-7 dan hari itu juga jadwal kami untuk pulang. Lagi-lagi Bapak menawarkan jasanya untuk mengantarkan kami ke kota. Saya ke pelabuhan Lembar dan 3 yang lain ke bandara. Pagi sekali kami sudah packing barang-barang. Kami berniat untuk berkeliling lombok dahulu sebelum masing-masing pulang. Biaya sewa mobil dari desa Sajang ke Bandara adalah Rp. 500.000.- tetapi karena ada beberapa tempat yang akan kami kunjungi dahulu maka uang sewa menjadi Rp 800.000.- yang dibagi pada 4 orang itu pun setelah melaui nego.
Bapak menunjukkan beberapa tempat di Sembalun dan kami diantar untuk mengunjungi kebun strawberry sebagai tempat pertama. Buah strawberry khas Sembalun mempunyai rasa yang manis dan berukuran besar. Saya menyesal karena hanya membeli beberapa bungkus saja. Saking enaknya saya bisa menghabiskan satu bungkus mika strawberry sendirian dengan waktu cepat.
Selanjutnya, tempat oleh-oleh pernak-pernik khas Rinjani seperti kain tenun, gantungan kunci, gelang dan lain-lain. Sayangnya, tidak ada makanan khas Lombok disini dan Bapak menyarankan untuk membelinya nanti di kota. Tempat oleh-oleh juga masih sangat terbatas jumlahnya sehingga pilihan oleh-oleh juga seadanya, mungkin ini salah satu alasan mereka mematok harga yang lumayan mahal. Menurut saya, potensi wisata Gunung Rinjani pasti akan mengundang pendaki dari berbagai daerah bahkan berbagai negara jadi akan sangat berarti jika ada pemberian modal untuk berbisnis selain bertani, sebagai mata pencahrian warga setempat.
Bukit Selong dan desa adat Beleq adalah tujuan berikutnya. Kalian dapat menyimak cerita lengkap tentang ini pada postingan saya sebelumnya. Nah tidak berlama-lama, kami melanjutkan menyinggahi pantai Tanjung Aan yang lengkap dengan bukit Marese-nya. Cuaca terik pada siang hari di tengah pantai membuat kami langsung melanjutkan perjalanan ke Bandara untuk mengantar Ichal yang memang mendapat jadwal terbang pada siang hari. Berbeda dengan Ade dan Andri yang mengambil jadwal pada malam harinya.
Tepat didepan bandara terdapat rumah makan khas Lombok yang sangat mencolok karena dipadati oleh pengunjung dan kami juga sengaja mampir kesana. Tempat ini menyajikan berbagai menu khas Lombok, salah satunya nasi balap puyung. Nasi balap puyung adalah nasi dengan topping ayam suwir yang dibumbui cabe dan kacang serta terdapat taburan rebon kering, abon, dan tak ketinggalan satu potongan ayam yang digoreng kering. Paduan pedas, gurih dan komplitnya topping ini menggugah selera makan kami. Dan dalam waktu sekejap kami dapat menghabiskannya. Seperti belum puas di Lombok, kemudian kami dibawa ke sebuah taman bernama taman Narmada. Sebuah taman yang berada tidak jauh dari kota Mataram. Tetapi naasnya, sesuatu yang tidak saya prediksi terjadi. Ketika sampai di tempat parkir, beberapa orang mendatangi mobil dengan alibi berasal dari perusahaan licing yang harus mengurus surat plat mobil karena terdapat kesamaan plat dengan mobil mereka. Tentu saja kami tidak tinggal diam dan Bapak juga sempat panik serta menelpon anaknya yang berprofesi sebagai seorang polisi. Oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab ini masih saja mengotot bahwa mereka harus membawa mobil Bapak dengan dalih untuk mengurus mobil serta surat-suratnya. Setelah melewati perdebatan yang cukup lama, suasana mulai mereda dan kami menggunakan kesempatan itu untuk kabur dari oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab ini.
Hari sudah semakin sore dan mood Bapak pun terlihat tidak begitu bagus setelah kejadian tadi. Beliau yang tadinya piawai menjelaskan berbagai tempat, mulai menjadi pendiam. Meskipun begitu, sebelum saya diantarkan ke pelabuhan Lembar, kami mampir ke Islamic Centre yang letaknya satu arah dengan pelabuhan. Tidak berlama-lama juga, ketika hari menjelang sore dan satu porsi magkuk bakso telah habis kami santap, perjalanan dilanjutkan ke pelabuhan Lembar.
Ini pertama kalinya, saya menginjakan kaki di pelabuhan yang berada sebelah barat pulau Lombok. Pelabuhan Lembar yang akan membawa saya menyebrangi selat Lombok menuju ke pulau Bali. Saat itu bisa dibilang saya agak sedikit nervous. Ketika Ade dan Andri sudah pergi melesat tak terlihat dengan mobil travelnya. Tinggal saya sendiri yang kebingungan harus mulai dari mana. Beberapa saat kemudian didepan saya, ada seseorang yang turun dari mobil dengan membawa carriel, sudah bisa ditebak beliau baru turun juga dari Rinjani. Tanpa basa-basi saya langsung mengikuti langkah beliau yang arahnya menuju ke sebuah loket. Dengan membayar Rp. 46.000 saya sudah mendapatkan tiket kapal cepat Lembar-Padangbai (Bali). Mulai dari sini, saya membuka obrolan dengan beliau sambil mengikuti langkahnya masuk ke dalam kapal. Alhamdulillah, lagi-lagi saya dimudahkan waktu itu. Suasana pelabuhan juga tidak semenyeramkan apa yang ada dibenak saya tentang berbagai preman dan pungli. Terlebih saya berjalan sendiri, itu yang sangat mengkhawatirkan diri saya pribadi. Dari loket yang ramah, kemudian arahan jelas menuju ke kapal dengan dijaga beberapa bapak-bapak berseragam untuk pengecekan tiket. Benar-benar jauh dari kesan horor untuk seorang newbie seperti saya. Ditambah waktu matahari tenggelam adalah waktu favorit saya menonton langit dan rasanya sangat berbeda sekali, melihat sunset di pelabuhan.
Setelah memilih tempat duduk, kami melanjutkan perbincangan tadi yakni masih sekitar pendakian gunung Rinjani. Sambil melihat pedagang yang berlalu lalang menjajakan dagangannya sebelum kapal mulai menyebrang, kami juga membeli nasi bungkus dengan lauk khas nasi kucing Lombok. Beliau bernama Yusdin, laki-laki gondrong asal Denpasar ini, yang sebagian rambutnya sudah memutih dan terlihat sudah memasuki usia kepala empat ini sempat mentraktir nasi yang kami makan di kapal. Senangnya dipertemukan dengan orang-orang baik. Beliau ternyata rutin mendaki gunung Rinjani sebagai guide turis asing, bahkan setahun bisa 3 – 4 kali. Kami banyak berbincang-bincang dari barat sampai timur, dari kanan sampai kiri. Saya mendapatkan berbagai ilmu dari banyak yang beliau ceritakan, sebelum akhirnya kami tertidur. Anehnya, selintas orang-orang disekeliling mengira jika saya anak dari beliau, padahal secara fisik kami cukup berbeda. Entahlah dari mana pikiran mereka datang, bisa jadi gara-gara kami sama-sama membawa tas besar haha.
Waktu tempuh Lembar – Padangbai sekitar 4-6 jam, kami menggunakan separuhnya untuk beristirahat setelah capek bercuap-cuap. Tepat pada dini hari waktu 00.00 kapal bersandar dan mengharuskan seluruh penumpangnya untuk turun.
Ini adalah PR kedua saya. Menurut beberapa teman yang saya mintai informasi, bahwa bis terakhir menuju pelabuhan Gilimanuk adalah jam 12 malam. Tenang dong waktu itu sambil sedikit was-was. Sambil mengantri turun dari kapal yang lumayan berdesak-desakan, kemudian melewati jembatan yang agak panjang, saya sampai di parkiran yang begitu ramai kendaraan dan orang-orang. Saya menanyakan keberadaan bis ke Gilimanuk pada pedagang sekitar dan hasilnya nihil. Ternyata hal yang saya takutkan terjadi, bis malam sudah tidak ada dan harus menunggu sampai keesokan pagi. Rencana perjalanan saya yang kurang dari plan B menjadi tidak karuan. Saat itu pikiran saya hanya tertuju mencari warung yang terlihat ‘aman’ untuk sekedar istirahat dan menunggu pagi. Tiba-tiba pak Yusdin datang, beliau yang tadi sempat berpisah pada waktu turun kapal ternyata juga mencarikan bis untuk saya tapi hasilnya sama saja. Kemudian beliau menawarkan tumpangan ke terminal Ubung, padahal saya tahu kalau rumah beliau ada di Denpasar, yang berarti harus berjalan sedikit lebih jauh. Dengan perasaan takut, malam-malam hari di kota orang akhirnya saya mengiyakan bantuan beliau. Laki-laki yang sangat kental dengan logat Balinya ini dijemput oleh 3 orang anak yang kesemuanya laki-laki. Hal ini membuat perasaan saya semakin menciut. Tapi kemudian saya kuatkan diri saya lagi bahwa semuanya akan aman. Baiknya Pak Yusdin mempersilakan saya untuk duduk dikursi depan, sementara beliau malah berdesak-desakan di bangku belakang bersama 2 anak lainnya yang berpostur sama-sama besar. Hal ni membuat saya sedikit yakin bahwa Pak Yusdin tidak ada niatan buruk.
23 Agustus 2017
Satu jam lebih saya sampai di terminal Ubung sekitar jam 02.00 dini hari dan sudah ada bis Gilimanuk yang berangkat jam 03.00 subuh. Kami berpamitan dan baiknya lagi Pak Yusdin tidak mau menerima pemberian yang sudah saya siapkan, sebagai ucapan terima kasih. Alhamdulillah, banyak pelajaran dan pertolongan yang saya dapatkan dari kejadian satu malam itu. Semoga beliau mendapatkan balasan kebaikan, dan diberi kemudahan ketika ditimpa kesulitan.
Waktu 1 jam menunggu ketika perasaan sudah lega adalah bukan waktu yang lama. Bis jurusan Jember ini mulai jalan sekitar jam 03.00 menunggu penumpang lain berdatangan. Saya pun tidak melakukan banyak hal, hanya tidur dan tidur. Perjalanan dari terminal Ubung ke pelabuhan Gilimanuk memakan waktu 3 jam kurang lebih. Bis seharga Rp.70.000 ini membawa saya langsung larut tanpa basa-basi. Saya tidak sempat menikmati pagi hari di Bali kala itu. Kursi bis ekonomi ini lebih menarik sebagai sandaran terlebih dengan fisik yang masih pemulihan setelah hampir seminggu di gunung. Anehnya, para penumpang bis yang tidak saya perhatikan namanya ini mengoper ke bis lain sampai 2 kali. Marah iya, sempat, tidak sempat. Kondisi saya yang mengantuk berat mengabaikan perlakuan yang tidak apik ini kepada saya dan para penumpang lain. Memang rawan sekali menaiki bis dengan keadaan seperti ini, kita bisa jadi sasaran empuk bagi oknum yang punya niatan jahat. Walaupun bawaan kita cuma carriel dan seperangkat alat pendakian lain. Bukannya akan sangat repot kalau-kalau hilang dan mengumpulkan barang-barang ini lagi dari awal.
3 jam berlalu dan tak sadar ternyata bis sudah memasuki kapal di pelabuhan Gilimanuk. Penumpang secara begantian munuruni bis untuk mencari tempat duduk dibagian penumpang kapal. Ini kedua kalinya saya menaiki kapal ferry. Setelah kemarin sore menyebrang Lembar-Padangbai tidak terlalu memperhatikan tempat sekitar karena memang gelap tapi kali ini berbeda. Jarak Gilimanuk-Ketapang memang tidak terlalu jauh, hanya kisaran 45 menit perjalanan. Saya memilih tempat duduk diluar agar bisa melihat ke laut lepas pada pagi hari. Rasanya sangat menenangkan dengan suara-suara berisik kapal. Sejak saat itu saya menobatkan kapal ferry adalah transportasi kedua favorit setelah kereta api hahaa.
Alhamdulillah, touchdown Banyuwangi, yeay!
Pukul 07.00 pagi saya sudah ada di pelabuhan Ketapang. Rencana untuk langsung melanjutkan perjalanan ke Malang juga tidak teraminkan. Seandainya saja saya lebih cepat satu jam pasti saya dapat kereta pagi Tawang alun ke Malang. Tentu saja ini membuat saya kembali memutar otak ketika sampai Banyuwangi untuk menghabiskan waktu dan menginap dimana seharian ini. Tiba-tiba saya teringat masih menyimpan nomor telepon Ibu pemilik rumah singgah backpacker di daerah stasiun Karangasem (baca postingan sebelumnya 2 hari yang singkat di Banyuwangi). Langsung saja saya menelpon Ibu tersebut dan menanyakan ada tidaknya kamar kosong dan jasa penjemputan ke pelabuhan. Akhirnya, satu lagi selesai. Seharian penuh itu ternyata sangat menguras tenaga dan sesampainya di rumah singgah, lagi-lagi saya tertidur dengan lelap.
Banyuwangi memang sudah menjadi kota favorit bagi saya. Berjalan-jalan di kotanya seperti jalan-jalan sore di kampung halaman. Saya merasa aman disana. Banyak tempat juga bisa dieksplore disini dari gunung-gunung sampai lelautan bahkan wisata budayanya. Sayangnya, saya belum diberi kesempatan untuk menyinggahi sudut-sudut cantik Banyuwangi yang lain. Banyuwangi juga menjadi salah satu alasan mengapa saya mengambil jalur darat untuk pulang dari Lombok. Banyuwangi selalu punya magnet tersendiri untuk menarik saya kembali. Dan satu lagi hutang saya ke Abah, untuk mencari kontak saudara lamanya di kota ini.
Terdengar suara kereta dan saya pun terbangun. Hari ternyata sudah mulai sore dan waktu menunjukan pukul 14.00. Saya mulai bosan tidak melakukan hal apa-apa. Karena kepikiran hutang tadi, akhirnya saya segera menyewa motor dan mulai mencari alamat dengan mengandalkan alamat desa dan kecamatan yang diberi tahu Abah. Tentu saja dengan bantuan google maps. Titik yang saya cari letaknya tidak terlalu jauh dari kota hanya sekitar 40 menitan ditambah bertanya warga sana-sini. Dengan penuh harap menanyakan warga sekitar kediaman mbah Winarno akhinya saya temukan. Seriusan ini seperti acara hits pada jamannya “Termehek-mehek”.
Tidak semulus seperti kelihatannya, saya bertemu dengan 2 orang Ibu paruh baya ketika saya mulai masuk rumah mbah Winarno. Sambutan mereka terlihat bingung. Saya perlahan-lahan mencoba untuk menjelaskan bahwa saya adalah anak dari saudara mereka di Pekalongan. Mereka hanya sedikit mengingat tapi tidak dapat mengenali siapapun. Selanjutnya 2 Ibu ini yang saya panggil budhe Yuyun dan budhe Sri menceritakan bahwa keadaan mbah Wi sudah sangat tua dan hanya berbaring di tempat tidur saja. Sudah sangat susah untuk mengenali orang-orang dan takutnya nanti malah kaget kalau-kalau dipaksa untuk mengingat. Iya, saya mengerti hal itu. Tak berlama-lama saya meminta pamit karena hari akan gelap tapi budhe Yuyun memberi kesempatan untuk saya melihat mbah Wi dan mengabadikan fotonya untuk disampaikan ke Abah serta tak lupa memberikan kontaknya. Syukurlah setelah selang beberapa bulan, Abah mengunjungi mbah Wi dan tali silaturahim antar keluarga Pekalongan-Banyuwangi kembali terjalin.
Mungkin cukup ya acara sedih-sedihnya. Tujuan saya selanjutnya adalah makan malam di depan pelabuhan Ketapang. Sebelum gelap saya sudah meluncur agak dapat waktu magrib di dekat pelabuhan Ketapang. Setelah sholat magrib di masjid sekitar, saya langsung mengunjungi Bapak tua penjual nasi tepat di depan pos polisi pelabuhan Ketapang. Nasi biasa ala nasi kucing yang bungkusannya agak lebih besar dan terdapat menu ayam dan ikan. Tapi yang membuat saya kembali kesini adalah sambalnya yang sangat enak. Puas dengan ini, saya juga kangen dengan rujak soto. Lanjut berjalan-jalan di kota, saya menemukan rumah makan yang sangat ramai dengan menu rujak soto. Walaupun masih kenyang, sepertinya saya masih mampu menampung semangkuk rujak soto hehee. Setelah menghabiskannya, saya kembali pulang ke rumah singgah yang letaknya persis di depan stasiun Karangasem. Dan harus kembali packing untuk melanjutkan perjalanan ke Malang dengan kereta pagi Tawang Alun.
24 Agustus 2017
Waktu pukul 05.00 pagi saya sudah standby di stasiun Karangasem dan menunggu 15 menit kemudian untuk jadwal kereta Tawang Alun. Perjalanan sekitar 7 jam untuk ke Malang. Saya memang berniat kembali dan menginap satu malam lagi di Malang. Beruntungnya teman-teman Malang bisa menemani saya berkeliling.
Tiba sekitar pukul 13.00 saya langsung menuju pujasera yang letaknya persis di depan stasiun Malang. Sambil menunggu arek-arek Malang ini saya membeli beberapa kudapan disana. Tak lama Haqi, mas Ndut dan mas Wowo datang menghampiri. Mereka menawarkan untuk mengajak saya camping ceria di pinggir pantai Balekambang. Perjalanan ternyata lumayan jauh dan lumayan terjal dengan menggunakan sepeda motor. Setelah 2 jam, kami baru sampai di pantai Balekambang dan hari sudah gelap. Alih-alih sudah membawa tenda kami malah tidur di alam terbuka, di sebuah shelter tepat pada bibir pantai.
Keadaan fisik saya sudah melemah waktu itu dan rasanya perjalanan panjang ini ingin segera diakhiri. Pada malam itu pula saya memutuskan, untuk pulang besok hari!
25 Agustus 2017
Suasana pagi di pinggiran pantai memang salah satu momen terbaik. Melihat matahari terbit dari kejauhan, laut yang surut sehingga terlihat binatang-binatang laut tanpa tulang belakang, memberikan pengalaman baru pastinya. Menyusuri pantai sambil berfoto ria serta menjadi sangat momentum sekali waktu itu. Bukan hanya itu, Balekambang juga mempunyai Pura di tepi pantai dan menjadikan beberapat spot sangat instragamable.
Setelah berkeliling menyusuri sudut-sudut Balekambang akhirnya sudah waktunya kami pulang kembali ke Malang kota. Karena memang hari itu saya berencana mengambil kereta siang ke Pekalongan. Sesampainya di kota saya belum juga diantar ke stasiun. Kata arek-arek Malang ini, “Mumpung masih di Malang harus banget nyobain ini itu” dan saya dengan sedikit berat hari mengiyakan ajakan mereka.
Tempat pertama, saya butuh sesuatu yang menyegarkan dan toko ‘Oen’ langsung menjadi incaran. Toko atau yang lebih pantas disebut restoran es krim ini terletak di jalan Besuki Rahmat no 5 Klojen Malang adalah toko legendaris khas Belanda. Toko Oen juga termasuk tempat yang menjadi incaran para pelancong dan wajib dikunjungi ketika berada di Malang. Bangunan yang klasik serta segala jenis propertinya sangat mengarah pada gaya vintage. Menu-menu yang disajikan adalah berbagai es krim yang masih terjaga cita rasanya.
Kemudian tempat kedua adalah bakso atau bakwan Malang. Eits, ternyata bakso di malang tidak memakai embel-embel jadi “bakso Malang” karena memang di Malang, jadi cukup menyebutnya bakso saja. Sama halnya seperti warteg “warung tegal” atau rumah makan Padang, yang jika di Padang tidak ada rumah makan bertuliskan rumah makan Padang. Kembali ke bakso. Rugi juga kan kalau ke Malang tapi tidak mencoba makanan khasnya. Salah satu yang terkenal yakni Bakso President. Terletak di jalan Batanghari 5, bakso president mempunyai tempat yang unik yakni persis di pinggir rel kereta. Sayangnya saya kesana pada siang hari menjelang sore dan tidak ada kereta yang lewat jadi belum dapat merasakan apa yang direview orang-orang tentang memakan bakso yang bergetar hehe. Menu baksonya disini juga sangat komplit dari bakso biasa sampe bakso bakar dijual disini dengan harga yang masih sangat bersahabat. Bakso bakarnya beneran bikin kangen. Mungkin suatu saat saya bakal mampir ke tempat ini lagi.
Sudah 2 tempat yang kami kunjungi tapi jam masih menunjukan waktu sore hari. Sedangkan tiket kereta yang saya beli adalah pukul 18.30. Sisa waktu di Malang saya habiskan untuk berkeliling dengan becak, mengujungi alun-alun Malang dan sholat ashar di Masjid Agung yang letaknya berdekatan. Waktu berlalu dan akhirnya sudah mepet waktu keberangkatan saya ke Pekalongan. Oiya, saya juga sempat mampir di pasar yang menjual berbagai bunga yang letaknya tidak jauh dari stasiun Malang. Akhirnya setelah sempat gagal pada waktu lalu membeli tanaman bunga krisan, saya dapat menemukannya disini dan berhasil membawanya pulang.
26 Agustus 2017
Kereta berjalan tepat waktu seperti biasanya. Kereta Majapahit menyampaikan saya di Pekalongan pada pukul 05.00 pagi keesokan harinya.
Inilah sekelumit 11 hari pengalaman berharga yang akan sampai kapanpun saya ingat. Terima kasih untuk kedua orang tua yang tak berhenti mendoakan anaknya selama perjalanan sehingga dapat sampai selamat di rumah. Terima kasih juga teman-teman sependakian Rinjani, Pak Yusdin, arek-arek Malang yang sudah menanggung hidup saya selama disana, teman-teman lain yang saya mintai informasi dan yang saya mintai pendapat, serta teman-teman yang tak henti meminta update terbaru dari saya setiap harinya dan minta cepat-cepat harus balik ke jakarta. So thankfull to have all of you guys!
Semoga tulisan ini juga bisa menjadi reminder untuk saya pribadi. Syukur-syukur dapat menjadi inspirasi dan teman-teman dapat mengambil sisi baik dari perjalanan ini.
Salam lestari!
Posting Komentar untuk "Berjalan untuk pulang"
You are welcome to share your ideas with us in comments!